Antara “Priuk Pelebur”, Kontrol Sosial dan The Jak Mania

Artikel yang panjang ini mungkin tidak akan dimuat. Bahkam mungkin juga takkan bisa sampai ke JO ketika dikirim. Tapi lihat, dia tetap kutulis, untukmu yang kucintai-Ya, untuk kau para The Jak Mania, yang sedang berbahagia dalam suasana ISL. Sebelumnya aku tak tahu akan menulis apa dan memberi judul apa artikel ini, namun sejarah telah mengantarkanku ke alam yang lain dari Jakarta, Persija dan The Jak Mania-nya. Dan Tuhan pun memberikan anugerah inspirasi kepadaku tentang sisi lain The Jak Mania. Maka tertulislah Artikel ini berdasarkan apa yang kulihat, kurasakan dan pada akhirnya kutuangkan.

Antara “Priuk Pelebur”, Kontrol Sosial dan The Jak Mania

“Melting Pot” atau Priuk Pelebur adalah sebuah konsep yang dahulu oleh Penjajah Belanda dimaksudkan agar Ibukota Hindia Belanda pasca VOC di Batavia menjadi sebuah Priuk Pelebur dari beragam suku, ras, agama dan budaya, tapi sayangnya oleh para pembesar Hindia Belanda konsep tersebut dilakukan secara menyimpang dengan memberi sekat-sekat wilayah, terutama di Batavia. Hal ini disebabkan adanya strata hukum dalam kehidupan di Batavia secara khusus dan di wilayah lain di jajahan Hindia Belanda pada umumnya, strata tersebut adalah: (1.Belanda, 2. Timur Asing, 3. Pribumi), oleh karena itu sekarang kita sering mendengar ada wilayah yang bernama Kampung Jawa, Kampung Ambon, Pecinaan, dll. Pasca kemerdekaan Indonesia atau di era Orde Lama (1950, pasca KMB) konsep “Melting Pot” mulai disempurnakan yaitu menghilangkan sekat-sekat tersebut dengan cara mencabut strata hukum dalam kehidupan bernegara yang lebih luas terutama Jakarta yang menjadi Ibukota setelah dipindah dari DIY.

Masuk ke dalam era Orde Baru sekat-sekat tersebut timbul kembali pasca 1965, ini membuat warga Jakarta khusunya yang berasal dari ras Asia Timur khususnya Tiongkok teralienasi di kotanya sendiri, Jakarta. Tak ayal banyak warga Jakarta yang terkotak-kotak selain karena faktor khidupan geselscaf-nya juga karena sekat-sekat yang dibangun di Era Orde Lama bahkan terkadang berbau agama dan suku. Pasca Runtuhnya Orde baru (1998) sekat-sekat tersebut dihapuskan oleh Presiden Indonesia ke-4, K.H. Abdurahman Wahid. Salah satu contohnya adalah memberikan warga Tiongkok yang sudah menjadi WNI kepada hak-hak mereka kembali dalam berkehidupan sosial, berbudaya, beragama dan bernegara yang dirampas oleh Orde Baru serta menghapuskan diskriminasi di hadapan hukum. Melting Pot-pun hidup kembali namun masih ada yang salah ketika Warga D.K.I Jakarta kembali kepada kehidupan geselscaf-nya yaitu walaupun sudah melebur tetapi tidak ada saling kepedulian antara sesama, hal ini jelas bisa membawa kepada keadaan sebelumnya.

Untunglah di antara serpihan-serpihan keterasingan warga Jakarta terhadap lingkungan sosialnya, ternyata masih ada organisasi yang mengingatkan warga Jakarta agar bisa melebur kembali munuju kebersamaan, apa nama organisasi itu?, orgnaisasi itu bernama The Jak Mania. Walaupun berbasis kepada kecintaan terhadap klub Persija Jakarta namun pada setiap pertandingan, The Jak Mania selalu mengingatkan warga Ibukota negara pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya untuk belajar melebur seperti keluarga meskipun dalam lingkup yang kecil yaitu sepakbola. Karena itulah pada setiap pertandingan sering kita dengar choirs yang disuarakan oleh para The Jak Mania: “Tinggalkan Ras. Tinggalkan Suku. Satu tekad dukung Persija…dst”. Walupun choirs itu sederhana namun mempunyai arti yang dalam kepada warga Jakarta yang Pluralis yaitu jangan sekalipun memandang ras, suku dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara meskipun dalam lingkup yang cukup sederhana, sepak bola. Bahkan dengan jejaringnya The Jak Mania berhasil menyatukan masyarakat lainnya yang berbeda latar belakang dan daerah ke dalam sebuah oragniasasi yang tidak peduli terhadap perbedaan suku, ras, agama, bahkan bangsa. Di sinilah seolah-olah ruh dewa yang bernama melting pot seolah-olah turun ke bumi Indonesia tercinta.

Sebagai sebuah organisasi yang berbasis kepada kecintaan terhadap sepakbola Ibukota, The Jak mania juga sering menyalurkan aspirasi Warga Jakarta yang kerap terbentur dengan penyair-penyair salon yang mengatasnamakan warga Jakarta, salah satu contohnya adalah ketika warisan cagar budaya Lapangan Menteng dirombak menjadi Taman Menteng (yang sekarang bahkan ditambahi patung anak kecil). Ketika itu para sejarahwan terang-terangan protes terhadap Gubernur yang berkuasa, sayangnya usah tersebut “ditangkis” oleh sang Gubernur.

Warga Jakarta yang geram ketika itu hanya melihat miris namun tetap protes (meskipun dalam obrolan warung kopi), saat itulah The Jak Mania tanpa embel-embel partai dan kepentingan penguasa berani berkoar memprotes tindakan sang Gubernur yang sebenarnya juga dicintainya itu di Lapangan Menteng. Saat itu jugalah banyak LSM, yang mulai berani ikut memprotes tindakan sang Gubernur D.K.I Jakarta terhadap tindakan merombak Lapangan Menteng. Di sinilah tampak walupun The Jak Mania berbasis kecintaan teradap Persija ternyata juga bisa melakukan kontrol sosial terhadap perkembangan Ibukota Jakarta bahkan bisa memotivasi civil society lainnya untuk melakukan kontrol sosial walaupun ketika itu yang dikontrol sosial tersebut adalah sosok yang di cintai oleh The Jak Mania, Sutiyoso. Sepengetahuan saya inilah kontrol sosial pertama di Indonesia yang pernah dilakukan oleh supporter sepakbola terhadap Warisan Cagar Budaya dan itu dilakukan oleh The Jak Mania.
Pada akhirnya antara “priuk pelebur”, Kontrol sosial dan The Jak Mania terjalin hubungan yang sinergis dan mempunyai satu tujuan yaitu menghilangakan perbedaan dari berbagai latar belakang dan melakukan kontrol sosial untuk kehidupan berwarga, berbangsa dan bernegara yang lebih baik seperti anak sungai yang datang dari segala macam penjuru namun tetap mempunyai satu tujuan yaitu ke laut.


Sumbangan Seorang The Jak Mania untuk Jakarta, Persija dan Indonesia.


Artikel ditulis Oleh: Nico Khaizan (A.K.A Robot Orange)

14-01-2010

Sumber Acuan:
1. Lance castles. Profil etnik Jakarta. 2007. Masup Jakarta: Jakarta
2. Marwati Djoened, dkk. Sejarah Nasional Indonesia III. 1993. Balai Pustaka: Jakarta
3. Hetifah Sj. Sumarwoto. Inovasi, Partispasi dan Good Governance. 2009. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Sumber lain : Kompas, Poskota

Nb: kalo ada yang salah maafin ye…

*Sumber: http://www.jakmania.org*

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Powered by    Login to Blogger