Awas, Wasit Berubah Pikiran!

Kompas, Senin, 22 Maret 1999
MASIH ingat kasus jual beli pertandingan dan 'mafia' wasit yang berbuntut dengan dicopotnya Djafar Umar dari posisi Wakil Ketua Komisi Wasit PSSI tahun 1998? Itulah salah satu puncak dari terkuaknya sejumlah permainan kotor antara wasit dan oknum di PSSI dalam sejarah Liga Indonesia. Para publik bola akhirnya menyadari betapa banyaknya unsur nonteknis yang bisa menghadang maupun memuluskan sebuah tim lolos ke Senayan. Termasuk di antaranya, "kongkalikong" antara wasit, pemilik klub, maupun beberapa oknum dalam tubuh PSSI sendiri.

Taruhlah misalnya kasus 'mafia' tadi sudah selesai, menyusul dihukumnya Djafar Umar selama 20 tahun oleh PSSI. Anggap saja itu sebagai sesuatu yang kasuistis, dan nyatanya memang sejak awal hingga putaran 10 Besar LI V, hampir tak terbetik lagi isu soal suap terhadap wasit di lapangan. Tetapi,
apakah bisa dijamin bahwa biang-biang "penyakit kronis" tersebut tidak kambuh lagi dalam putaran 10 Besar LI V ini? Mari kita mencoba husnuz dzhon (berprasangka baik).

Dengan makin tegasnya sikap PSSI terhadap "korps pengadil" di lapangan, mungkin relatif sulit menemukan suap-menyuap dalam putaran 10 Besar hingga putaran semifinal dan final LI V ini. Bisa jadi, kharisma Letjen TNI Agum Gumelar sebagai Ketua Umum PSSI membuat ciut nyali para oknum pengurus PSSI maupun para pengurus klub untuk "macam-macam".

Sekum PSSI Nugraha Besoes dalam percakapan dengan Kompas mengakui, sangat sulit bagi oknum PSSI untuk bermain dengan wasit. Alasannya sederhana saja. Bukan cuma karena makin tegasnya PSSI, tetapi juga karena antara wasit dan pengurus teras PSSI tidak begitu saling mengenal. "Saya pernah dituding ada apa-apa dengan wasit dan klub dalam berbagai pertandingan. Ya Allah, bagaimana mau macem-macem, kenal mereka (para wasit-Red) saja tidak!" sergah Nugraha.

Kalau begitu, relatif bisa dijamin bahwa isu politik uang (money politics) yang lagi santer disebut-sebut menjelang Pemilu 1999, tidak sampai menular ke dunia sepak bola. Barangkali yang perlu dikhawatirkan adalah kemungkinan adanya teror penonton terhadap wasit.

Trauma kerusuhan yang timbul akibat kerumunan massa akhir-akhir ini begitu membekas di kalbu setiap warga negara, tak terkecuali (mungkin) terhadap mereka yang menyandang predikat wasit. Kendati cuma sesaat, "histeria" massa (penonton) bukan tidak mungkin membuat wasit bisa berubah pikiran untuk menjatuhkan hukuman kepada pemain dari salah satu tim yang sedang berlaga. Terlebih, jika salah satu tim bersangkutan mempunyai pendukung mayoritas di tribun.

Menanggapi hal itu, Djajat Sudradjat, satu dari 20 wasit yang dipersiapkan PSSI untuk putaran 10 Besar hingga final LI V ini, menyatakan sudah siap "berjibaku". "Bukan hanya fisik, mental saya sudah siap. Demi fair play, saya siap mati di lapangan hijau. Ini jangan diartikan menantang suporter maupun pemain untuk gelut. Ini untuk menunjukkan bahwa wasit pun punya komitmen dan harga diri demi peraturan persepakbolaan," tegas wasit berkualifikasi FIFA asal Cianjur (Jabar) itu.

Pengakuan serupa juga diperoleh dari wasit lainnya, Darwiswan Lumu, asal Palu (Sulteng). "Buat apa jauh-jauh datang ke Senayan, kalau akhirnya kami harus berubah pikiran karena teror. Jangankan ancaman fisik, iming-iming uang pun kami tampik!" tandasnya.

Pernyataan tersebut sangat bisa jadi mewakili komitmen korps wasit PSSI dalam menegakkan fair play. Semoga bukan sekadar kebulatan tekad. (nar)

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Powered by    Login to Blogger