Sudah dua pertandingan tim nasional sepakbola Indonesia di Sea Games 2011 berlalu dengan pemandangan kursi-kursi kosong melompong di tribun penonton. Entah berapa banyak penonton yang datang saat partai kontra Kamboja dan Singapura, tapi mata telanjang pun bisa melihat bahwa Gelora Bung Karno tak sampai terisi setengah dari kapasitas maksimalnya.
Jakmania, suporter Persija Jakarta yang biasanya setia menghadiri pertandingan tim nasional hanya diwakili oleh segelintir orang yang jelas kalah jauh dibanding kekuatan mereka sesungguhnya. Jakmania sore itu hanya diwakili oleh bentangan spanduk “Save Persija” yang terpampang di belakang gawang utara.
Save Persija, ya, itulah alasan di balik keengganan Jakmania untuk hadir mendukung tim nasional Indonesia di GBK. Aksi boikot ini dilakukan menyusul dualisme manajemen Persija dan keputusan PSSI untuk mengesahkan PT Persija Jakarta dibanding PT Persija Jaya Jakarta yang menurut mereka lebih layak.
Ketua Panitia Penyelenggara Sea Games 2011 (Inasoc), Rahmat Gobel telah bertemu dengan pihak Jakmania dan meminta mereka untuk menghentikan boikot karena minimnya dukungan penonton sedikit banyak berpengaruh kepada performa tim. Nyatanya pada pertandingan melawan Singapura kemarin (11/11), Jakmania masih melakukan boikot.
Banyak hal yang bisa diperdebatkan seputar aksi boikot Jakmania ini seperti apakah layak kekesalan kepada PSSI dilampiaskan kepada tim nasional atau apakah fanatisme kepada klub berada di atas fanatisme terhadap tim nasional, tapi hal yang menarik untuk diamati adalah bagaimana Jakmania, sebagai elemen suporter sepakbola, melakukan pernyataan sikap politik terhadap PSSI melalui boikot. Sebagai metode demonstrasi politik dalam sepakbola, boikot bukanlah barang baru yang dilakukan suporter tetapi salah satu yang paling efektif. Dengan melakukan aksi boikot, maka sepakbola kehilangan unsur penting yang seharusnya tak boleh hilang dalam pertandingan, yaitu penonton. Sebagai sebuah bentuk protes, maka boikot akan memukul telak pihak-pihak yang menghelat pertandingan, seperti klub ataupun federasi sepakbola.
Musim lalu ribuan suporter Borussia Dortmund melakukan aksi boikot dengan tidak menghadiri partai derbi melawan Schalke 04 akibat tingginya harga tiket. Begitu juga yang dilakukan oleh suporter klub Divisi 3 Inggris Huddersfield Town akibat mahalnya tiket saat akan menghadapi Sheffield United. S Suporter Manchester United menempuh cara lain untuk memprotes kepemilikan keluarga Glazer yang mereka rasa menggerogoti keuangan klub. Selain memakai warna hijau-kuning (warna klub Newton Heath, cikal bakal Manchester United), mereka juga memboikot suvenir asli yang dijual di toko resmi klub dan diharapkan aksi tersebut dapat berpengaruh pada keuangan klub.
Berbagai aksi di atas hanya contoh bagaimana suporter, sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah tim sepakbola, berusaha membuat dirinya didengar. Bila Trias Politica sepakbola dipetakan menjadi FA (federasi)-Klub-Pemain, maka suporter sebagai entitas yang berada di luar piramida kekuasaan sesungguhnya adalah pihak yang rentan terhadap kesewenangan. Maka boikot sebagai sebuah bentuk protes adalah alat yang efektif untuk menyeimbangkan kekuasaan.
Esensi dari aksi boikot sebenarnya sederhana. Apa yang akan federasi atau klub lakukan jika penonton sebagai target pasar tidak senang dengan apa yang disuguhkan? Apakah mereka akan mengganti penonton tersebut dengan penonton lainnya? Bagaimana jika mereka tak tergantikan? Seberapa kuat federasi/klub akan terpukul jika suporter ngambek?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang membuat saya angkat topi pada suporter klub mana pun yang melakukan aksi untuk memaksa aspirasi mereka didengar oleh pihak yang lebih berkuasa. Maka Anda bisa memperdebatkan apakah Jakmania layak untuk memboikot tim nasional sebagai protes terhadap PSSI, tapi keberanian mereka untuk melakukan itu sesungguhnya adalah upaya amplifikasi aspirasi mereka yang tak didengar.
Sumber: beritasatu.com / Pangeran Siahaan
Banyak hal yang bisa diperdebatkan seputar aksi boikot Jakmania ini seperti apakah layak kekesalan kepada PSSI dilampiaskan kepada tim nasional atau apakah fanatisme kepada klub berada di atas fanatisme terhadap tim nasional, tapi hal yang menarik untuk diamati adalah bagaimana Jakmania, sebagai elemen suporter sepakbola, melakukan pernyataan sikap politik terhadap PSSI melalui boikot. Sebagai metode demonstrasi politik dalam sepakbola, boikot bukanlah barang baru yang dilakukan suporter tetapi salah satu yang paling efektif. Dengan melakukan aksi boikot, maka sepakbola kehilangan unsur penting yang seharusnya tak boleh hilang dalam pertandingan, yaitu penonton. Sebagai sebuah bentuk protes, maka boikot akan memukul telak pihak-pihak yang menghelat pertandingan, seperti klub ataupun federasi sepakbola.
Musim lalu ribuan suporter Borussia Dortmund melakukan aksi boikot dengan tidak menghadiri partai derbi melawan Schalke 04 akibat tingginya harga tiket. Begitu juga yang dilakukan oleh suporter klub Divisi 3 Inggris Huddersfield Town akibat mahalnya tiket saat akan menghadapi Sheffield United. S Suporter Manchester United menempuh cara lain untuk memprotes kepemilikan keluarga Glazer yang mereka rasa menggerogoti keuangan klub. Selain memakai warna hijau-kuning (warna klub Newton Heath, cikal bakal Manchester United), mereka juga memboikot suvenir asli yang dijual di toko resmi klub dan diharapkan aksi tersebut dapat berpengaruh pada keuangan klub.
Berbagai aksi di atas hanya contoh bagaimana suporter, sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah tim sepakbola, berusaha membuat dirinya didengar. Bila Trias Politica sepakbola dipetakan menjadi FA (federasi)-Klub-Pemain, maka suporter sebagai entitas yang berada di luar piramida kekuasaan sesungguhnya adalah pihak yang rentan terhadap kesewenangan. Maka boikot sebagai sebuah bentuk protes adalah alat yang efektif untuk menyeimbangkan kekuasaan.
Esensi dari aksi boikot sebenarnya sederhana. Apa yang akan federasi atau klub lakukan jika penonton sebagai target pasar tidak senang dengan apa yang disuguhkan? Apakah mereka akan mengganti penonton tersebut dengan penonton lainnya? Bagaimana jika mereka tak tergantikan? Seberapa kuat federasi/klub akan terpukul jika suporter ngambek?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang membuat saya angkat topi pada suporter klub mana pun yang melakukan aksi untuk memaksa aspirasi mereka didengar oleh pihak yang lebih berkuasa. Maka Anda bisa memperdebatkan apakah Jakmania layak untuk memboikot tim nasional sebagai protes terhadap PSSI, tapi keberanian mereka untuk melakukan itu sesungguhnya adalah upaya amplifikasi aspirasi mereka yang tak didengar.
Sumber: beritasatu.com / Pangeran Siahaan