Menghormati Keputusan FIFA

Kontroversi tentang empat calon Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang ditolak FIFA sebaiknya tak diperpanjang. Tak ada gunanya berlarut-larut mempersoalkan keputusan badan sepak bola dunia yang sudah final itu. Lebih baik menghormati keputusan tersebut dan segera berkonsentrasi pada agenda memajukan sepak bola nasional.

Keputusan FIFA itu disampaikan Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar, Kamis lalu. Federasi yang dipimpin Sepp Blatter ini menyatakan menolak pencalonan Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro sebagai calon Ketua Umum PSSI. Ini berarti keempatnya tak boleh maju sebagai calon nakhoda PSSI dalam kongres akhir Mei mendatang.

Bisa dimaklumi bila keputusan FIFA tersebut menyulut protes dari pengusung nama-nama itu. Sebanyak 82 suara pendukung Toisutta-Panigoro, misalnya, menilai keputusan tersebut tak berdasar. Namun sangatlah tak produktif jika ketidaksetujuan itu kemudian disertai sejumlah ancaman, seperti klub Persiba Balikpapan dan Persipura Jayapura yang mengancam menggelar kongres sendiri.

Federasi sebenarnya sangat mungkin mengeluarkan keputusan yang tak melarang pencalonan Toisutta, Panigoro, dan Nirwan jika saja mereka mendapat informasi yang cukup tentang aspirasi mayoritas pemilik suara kongres. Tapi Agum, yang menemui Blatter, harus diakui tak berhasil meyakinkan eksekutif FIFA bahwa pencalonan ketiganya tak melanggar Statuta FIFA. Sebaliknya, pencalonan Nurdin Halid jelas-jelas menabrak Statuta FIFA yang mensyaratkan calon ketua belum pernah menjadi narapidana.

Komite Normalisasi, yang mendapat kewenangan kuat dari FIFA, dinilai tak mampu menjelaskan bahwa Komite Banding yang menganulir pencalonan keempatnya sebenarnya tidak sah. Komite Banding ini tidak dibentuk melalui kongres anggota PSSI sebelumnya, tapi ditunjuk sebelum Kongres Pemilihan. Keputusan penganuliran oleh Komite Banding inilah yang kemudian menjadi dasar keputusan FIFA.

Tentu saja FIFA yang mendapat informasi tak tuntas ini tak salah jika akhirnya memutuskan tetap menolak pencalonan keempatnya. Boleh jadi lembaga yang menaungi sepak bola seluruh dunia tersebut memiliki pertimbangan lain demi menghindarkan sepak bola Indonesia dari perpecahan antarkubu pendukung. Apa pun pertimbangan FIFA, tetap saja keputusan mereka bersifat final dan mengikat.

Tak elok bila keputusan tersebut kemudian disikapi dengan keras kepala. Berbagai komentar yang menyebutkan larangan FIFA itu telah melanggar hak asasi tentu berlebihan. Sikap ngeyel, apalagi menuduh, bisa menimbulkan antipati pada sang calon. Kengototan untuk tetap mencalonkan diri, dengan mengabaikan keputusan FIFA, malah bisa mengundang kecurigaan bahwa sang calon sesungguhnya tak cukup tulus memajukan sepak bola Indonesia.

Menghormati keputusan Federasi justru lebih terpuji. Bagaimanapun era Nurdin yang ricuh dan tanpa prestasi telah berakhir. Kini ada banyak nama lain yang lebih pantas untuk memajukan sepak bola Indonesia. Para calon yang ditolak FIFA itu tinggal menyiapkan kader terbaik mereka untuk memimpin PSSI.

Berlama-lama tenggelam dalam kontroversi pemilihan calon ketua jelas tak baik bagi organisasi yang semestinya mengutamakan pembinaan sepak bola itu. Terlalu sayang bila energi untuk mengejar prestasi tersebut akhirnya hanya dipakai untuk mengurus pengurus PSSI yang tak pernah becus itu.


Sumber: tempointeraktif.com, Sabtu, 23 April 2011 | 00:33 WIB

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Powered by    Login to Blogger