Saatnya Ketum Persija dari Konglomerat, Bukan Orang yang Gagal

Power Of The Jakmania
JAKARTA - Bukan rahasia lagi bahwa klub Persija Jakarta adalah tim yang memiliki finansial buruk, tata kelola keuangan amburadul, dan pengurus serta manajemen yang tak lihai menyehatkan tim sepak bola. Tak salah, jika kemudian Persija disebut tim Macan Kelaparan, bukan Macan Kemayoran.
Mengapa demikian? karena Persija, tim Ibu Kota, di tengah putaran uang yang melimpah dan pusat seluruh kegiatan perbisnisan di Indonesia, ternyata tak mampu mendaptkan anggaran melimpah. Ibaratnya, Persija adalah Ayam yang kelaparan di dalam lumbung padi. Suatu hal yang tak mungkin terjadi. Sederet krisis, mulai dari finansial sampai prestasi dan pembinana itu, membuat stakeholder sepak bola di Ibu Kota berinisiatif menemukan konglomerat sebagai pengganti Ketua Umum Persija Ferrry Paulus. Pasalnya, bos Macan Kemayoran belakangan ini terbukti gagal total, hanya mengandalkan pemasukan dari sponsorship. "Misalkan jaman dulu ada Sarnubi Said dengan Krama Yudha-nya. Terus Benny Mulyono kalau tidak salah Warna Agung, perusahaan cat. Terus Tunas Jaya, Deni Ardi dengan perusahaan obatnya Tempo," kata Asisten Pelatih Satia Bagdja Ijatna kepada Indopos (grup JPNN), Senin (26/10) malam. Sebelumnya, coach Satia Bagdja menyarankan tim ibu kota sebaiknya dipegang oleh pengusaha besar. Sebab, memang tidak dipungkiri hancur leburnya Liga Indonesia (LI) di tengah sanksi FIFA dan pemerintah berdampak pada pendapatan klub. Tentu hal demikian berpengaruh besar terhadap gaji pelatih dan pemain lantaran pihak sponsor baru mau mencairkan dananya kalau ada kompetisi. "Maksudnya dia boleh seorang individu. Tapi, juga mesti mempunyai penghasilan lain selain dari sponsor. Siapapun yang mau menjadi Ketua mesti ada penghasilan lain selain dari sponsor," ujar dia. Makanya menurut dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), waktu sponsor tidak masuk, mereka masih bisa menanggulangi kejadian-kejadian seperti ini melalui bisnis lainnya. Jadi kalau Ketum baru nanti hanya mengandalkan sponsor, keuangan klub akan tetap bermasalah. Sebaliknya kalau pemasukan sponsor hanya salah satu dari aneka sumber dana, program aktivitas klub akan terus berjalan. "Kalau kita ini sudah menganggap PT (Persija Jaya), terus tidak ada penghasilan lain dari PT itu, itu yang menjadi masalah. Itu kan berarti cuma mengandalkan sponsor. Makanya tidak ada klub di Indonesia yang profesional," kata pria kelahiran 9 Mei itu. Soalnya klub yang dianggap profesional itu juga dilihat dari beberapa aspek. Misalnya mempunyai lapangan latihan dan pertandingan sendiri. Sedangkan hingga kini lapangan yang digunakan oleh setiap klub yang tergabung di Indonesia Super League (ISL) semuanya dimiliki pemerintah daerah (Pemda) setempat. "Kalau kamu datang ke Leverkusen, dia punya stadion besar Leverkusen. Dia punya akademi, lapangan latihannya sendiri. Lapangan latihan dan stadion tidak boleh dipakai sembarangan," pungkas mantan asisten pelatih Sriwijaya FC.
Sumber: JPNN

 
Copyright  © 2007 | Design by uniQue             Powered by    Login to Blogger