Belakangan sedang hangat jadi pembicaraan soal kerusuhan suporter yang mengakibatkan kematian seorang anggota The JakMania yang bernama Fathul Mulyadin. Padahal bulan lalu juga telah terjadi kerusuhan di Stadion Brawijaya yang melibatkan Aremania.
Sepertinya berita keributan dan kerusuhan supporter di Indonesia tidak pernah ada habisnya. Maka kemudian banyak pihak yang memberikan stigma buruk terhadap supporter Indonesia dan sepakbola nasional pada umumnya.
Namun adilkah hanya menyalahkan supporter atas setiap kerusuhan tanpa melihat faktor sebab akibat yang memperngaruhinya?
Sebenarnya keributan dan kerusuhan suppporter tidak hanya terjadi Indonesia. Di luar negeripun terjadi hal serupa dengan skala yang bahkan lebih menghawatirkan. Namun ini tentu saja tidak bisa jadi pembenaran bagi kerusuhan serupa di dalam negeri.
Di setiap negara tentunya memiliki faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kekerasan dalam dunia sepakbolanya. Di Italia misalnya, kekerasan yang terjadi selama ini bahkan sudah dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Di sana ada istilah sayap kiri, komando garis keras dll. Tidak heran di berbagai pertandingan terlihat spanduk dengan foto Hitler, Che Ghuevara atau Mussolini.
Pada umumnya kekerasan dan keributan di negara Eropa dipengaruhi oleh minuman keras yang memang legal diperjual belikan. Supporter Inggris, Jerman dan Belanda adalah negara-negara yang terkenal sebagai penggemar bir kelas berat.
Nmaun kondisi kita di sini agak jauh berbeda. Kebiasaan minum-minuman keras bukanlah budaya Indonesia. Ideologi perlawanan juga belum merambah dunia supporter kita. Walau dalam beberapa hal, unsur-unsurnya sudah mulai terlihat.
Lalu apa saja faktor-faktor yang berperan besar atas terjadinya kerusuhan dan keributan yang melibatkan supporter di Indonesia???
1. Gambaran bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Supporter sepakbola adalah bagian kecil dari rakyat Indonesia yang yang ratusan juta jumlahnya. Dalamnya jurang perbedaan tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi serta rasa keadilan yang tak terwujudkan menjadi bahan bakar utama berbagai kerusuhan. Tidak hanya di sepakbola tapi juga pada kasus-kasus lainnya di Indonesia.
Budaya Amok, yang menurut pakar budaya sudah kita miliki sejak dahulu kala sepertinya masih belum hilang sampai generasi sekarang. Ketika ada kesempatan bersama melepaskan tekanan batin akibat ketidakadilan sosial maka direalisasikan dengan merusak, membakar dan mengamuk sejadi-jadinya. Tidak ada lagi rasionalitas, yang ada hanyalah ledakan emosi yang sudah sedemikian lama terpendam.
2 Sentimen Kedaerahan.
Kompetisi sepakbola yang ada sekarang adalah gabungan dari dua kompetisi sebelumnya, yaitu Perserikatan dan Galatama. Namun tampaknya pengaruh kompetisi perserikatan yang sangat kental dengan sentimen kedaerahan lebih mendominasi. Berbeda dengan klub semi profesional ala galatama yang dapat melampaui batas-batas primordial, klub perserikatan memang identik dengan sentimen kedaerahan.
Hal ini semakin diperparah oleh tingkah para elite politik yang justru memanfaatkan sentimen ini untuk meningkatkan popularitasnya di mata masyarakat. Banyak bupati dan gubernur menjadi pembina klub walau tidak paham sama sekali dengan sepakbola.
3. Faktor PSSI.
Sebagai organisasi tertinggi di sepakbola, PSSI masih terkesan menutup mata atas pembinaan supporter. Sampai saat ini PSSI masih belum merasa perlu untuk mengakomodir segala urusan dan masalah supporter ke dalam struktur kepengurusan mereka. Padahal supporter adalah bagian dari sepakbola sehingga pembinaan dan pengembangannya juga menjadi bagian dari tugas PSSI.
Maka wajar jika supporter seperti tidak memiliki ayah yang dapat membimbingnya dan lalu berbuat sekehendak hatinya.
Ketidak adilan dan ketidak tegasan bahkan ketidak profesionalan PSSI juga membuatnya kehilangan wibawa. Suatu kelompok suporter yang jelas memiliki kesalahan bisa luput dari hukuman namun hal sebaliknya bisa terjadi. PSSI mesti lebih tegas dan konsisten dalam menjalankan aturan yang dibuatnya sendiri. Jangan dibiasakan pengampunan dan pengurangan hukuman untuk meberikan efek jera yang maksimal. Beberpa kasus ketua umum turun tangan menganulir dan mereduksi keputusan yang dibuat komdis.
4. Aparat Keamanan.
Dalam sebuah talk show di televisi, Menegpora Adhyaksa Dault mengungkapkan rencana untuk menyempurnakan protap bagi pengamanan penyelenggaraan pertandingan. Tanpa banyak putar otak, hal ini dapat diartikan bahwa protap yang ada sekarang masih jauh dari sempurna.
Masih dalam kesempatan yang sama, Bung Yesayas Oktavianus(wartawan senior) mempertanyakan jumlah dan penempatan aparat keamanan yang menurut pengalamannya selama puluhan tahun sebagai wartawan sering tidak sesuai dengan yang diminta oleh panitia pertandingan.
Kerusuhan juga tidak jarang disulut oleh tindakan aparat yang arogan dan overacting. Akibatnya massa menjadi amrah dan membalasnya dengan kerusuhan. Sebaiknya pendekatan represif segera ditinggalkan. Bangun komunikasi yang baik dengan supporter dan gunakan cara-cara persuasif dan simpatik.
Aparat juga jangan lupa dengan tugasnya di stadion, yaitu menjaga keamanan dan bukan menonton! Awasi setiap bibit keributan dan cegah jangan sampai meluas.
Hindari penggunaan mesin perang di stadion. Supporter bukanlah musuh di medan tempur yang harus dihadapi dengan teknik pertempuran. Gas air mata selama ini justru lebih sering menimbulkan kepanikan daripada menenangkan suasana. Penonton yang sudah terjatuh atau menyerah seharusnya diselamatkan, bukan dipukul dan ditendang ramai-ramai.
Alasan bahwa aparat juga manusia yang mempunyai emosi tidaklah dapat diterima. Karena aparat keamanan yang baik mestinya dapat menjaga kontrol emosi dalam mengahadapi situasi apapun.
5. Wasit dan aparat pertandingan.
Wasit yang bermutu dan tegas akan dapat mencegah banyak kerusuhan sepakbola di Indonesia. Namun sayangnya sampai saat ini kondisi wasit kita masih jauh dari harapan.
Sebagai salah satu alat ukur kualitas wasit lokal adalah dengan melihat kiprah mereka di kegiatan sepakbola di luar pentas nasional. Sangat disayangkan tidak satupun wasit kita yang terpilih dalam penyelenggaraan piala Asia 2007 yang lalu. Padahal Indonesia adalah salah satu tuan rumah.
Ini tentu menggambarkan kualitas wasit kita belum bisa mendapat pengakuan di lingkup Asia.
Namun bukan berarti ini bisa jadi pembenaran untuk melakukan penganiayaan terhadap wasit. Pemain, pelatih, official dan supporter mesti lebih menghormati setiap keputusan wasit walau berat sekalipun. Jangan terlalu mudah menumpahkan kesalahan pada wasit dan hakim garis. Tugas berat buat pak IGK.Manila dalam mendongkrak kualitas di tengah segala macam kendala.
6. Kondisi Stadion.
Kebanyakan kondisi stadion di Indonesia masih kurang memenuhi syarat untuk menggelar laga besar tingkat internasional. Fasilitas pengamanan yang minim, kapasitas terbatas, lokasi yang terlalu dekat ke pusat kota dan kurangnya fasilitas pendukung lainnya.
Stadion lebak bulus di Jakarta, gelora 10 November di Surabaya dan stadion siliwangi di Bandung adalah tiga contoh stadion yang terletak terlalu dekat ke pusat kota. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan kerusuhan jika keributan menjalar ke luar stadion.
Dengan kondisi stadion yang sempit tentu lebih menyulitkan petugas untuk melakukan filter terhadap penonton yang berpotensi membuat keributan.
7. Internal kelompok supporter.
Pengurus kelompok-kelompok supporter yang ada hingga saat ini masih lebih banyak melakukan usaha untuk memperbanyak jumlah anggota tanpa memperhitungkan kemampuan untuk mengelolanya.
Semakin besar jumlah anggota akan semakin menyulitkan kelompok suporter untuk menertibkan anggotanya. Apalagi di luar anggota yang terdaftar dan terorganisir masih bayak fans yang tidak terdaftar. Membedakan keduanya tidaklah mudah. Suporter yang tidak terorganisir inilah yang lebih sulit untuk dikendalikan.
Mungkin sudah saatnya untuk membuat seleksi yang lebih ketat dalam penerimaan anggota. Terutama syarat minimal usia yang diperbolehkan mendaftar. Selain itu juga dibuat atribut khusus yang dapat membedakan antara anggota dan simpatisan. Ini cukup penting agar kelompok suporter tidak terus menerus dijadikan kambing hitam atas setiap kerusuhan yang terjadi.
Pembinaan dan pengawasan internal mesti lebih digiatkan. Terapkan sanksi tegas terhadap anggota yang melanggaar aturan seperti membuat keributan dan memancing permusuhan dengan suporter lain. Bisa juga dibentuk keamanan internal yang bertugas menjaga ketertiban anggota sebelum polisi turun tangan.
Setiap kebijakan dari pengurus hendaknya dapat diterima dan dijalankan dengan baik hingga ke tingkat paling bawah. Untuk itu perlu diadakan komunikasi yang intensif dan konsisten. Beberapa kelompok suporter telah melakukan hal ini dengan baik namun belum juga berhasil menjangkau arus bawah yang justru paling sering menyebabkan keributan.
8. Komunikasi antar kelompok supporter.
Jika kondisi internal kelompok suporter sudah dibenahi maka hubungan dengan kelompok suporter lain juag mesti lebih ditingkatkan. Sejauh ini upaya untuk itu sedah cukup baik. Sudah dua tahun berturut-turut diadakan jambore suporter yang didukung oleh sponsor Piala Indoensia.
9. Pengaruh media massa.
Sudah menjadi tabiat media dimanapun untuk mengekspos suatu fakta yang menarik dan memiliki nilai berita tinggi. Suatu kejadian atau fakta akan disajikan dengan cara yang cenderung bombastis dan dramatis.
Maka keributan antar suporter selalu menjadi headline di media massa. Di satu sisi, hal ini dapat memancing dan mengajarkan kelompok suporter lainnya untuk menunjukkan style="font-style:italic;">kemampuan yang sama.
Bahkan dengan membuat citra negatif terhadap sebuah kelompok malah justru akan meningkatkan militansinya. Karena mereka seperti tidak ingin melepaskan predikat Jagoan yang telah diberikan oleh media.
Sebaliknya kelompok lawan akan selalu memberlakukan status siaga penuh jika berhadapan dengannya. Bahkan sesekali mencoba kehebatan sang Jagoan
10. Kontrol sosial.
Terakhir yang berperan dalam terjadinya kerusuhan suporter adalah semakin lemahnya kontrol sosial terutama dari level paling bawah yaitu keluarga. Banyak anak-anak di bawah umur dibiarkan pergi ke stadion tanpa pengawasan orang dewasa. Maka di stadion anak umur 12 tahun sudah dapat menerima pelajaran gratis dari seniornya untuk tawuran.
Peran keluarga dalam menanamkan mental suporter yang cinta damai dan anti kerusuhan adalah filter pertama untuk mencegah terjadinya keributan antar suporter. Sayangnya belum semua orang tua memahami betul hal ini.
Kesimpulan.
Kerusuhan dan keributan antar suporter dapat dicegah jika semua pihak mau memahami dan mengakui kesalahannya untuk kemudian memperbaikinya. Selama ini justru lebih sering terjadi penyangkalan dan main lempar kesalahan. PSSI menyalahkan aparat keamanan, aparat menunjuk suporter yang tidak bisa diatur suporter menyalahkan wasit dan lain sebagainya.
Suporter sepakbola jangan dihadapi sebagai musuh. Tapi sebagai anggota keluarga yang perlu dirangkul, dibina, diarahkan, diberikan motivasi dan lain sebagainya. Semuanya dilakukan dengan komunikasi dua arah yang terbuka. Jangan hanya ditegur dan dimarahi tanpa memberikan kesempatan mereka untuk berbicara.
Semua pihak mesti sadar bahwa akar permasalahandari setiap kerusuhan bisa berbeda-beda. Jangan selalu mengkambing hitamkan suporter sebagai sumber masalah. Karena sebetulnya mereka lebih tepat disebut korban. Korban dari para orang tuanya yang lebih suka menyalahkan anaknya daripada melihat kekurangan diri sendiri.
Bersatulah wahai suporter Indonesia
dalam damai
dalam kegembiraan
dalam persaudaraan
Majulah sepakbola Indonesia